Pagi itu seperti biasa aku dan kakakku pergi ke sekolah pukul 06.30 dengan berjalan kaki karena kebetulan sekolah kami tidak jauh dari rumah. Sama seperti biasa, hari ku terasa begitu melelahkan. Tak terasa bel pulang telah berdering. Seperti biasa pula, aku dan kakakku dijemput mama untuk pulang menuju ke rumah.
Belum genap lima menit kami di rumah, tiba-tiba kami dikejutkan oleh suara eyang putri yang memanggil-manggil nama mama dengan suara yang agak berubah seperti orang yang sedang menangis. Dengan serentak, mama, aku, dan kakak menuju ke tempat eyang putri. Sungguh mengharukan, sambil menangis dan memeluk mama, eyang putri berkata bahwa eyang kakung telah wafat. Tak terasa air mata telah mengalir deras melewati pipi. Tak sanggup rasanya kehilangan orang tersayang untuk selamanya.
Dengan sigap, mama langsung membacakan ayat-ayat suci Al-Quran di depan jenazah eyang kakung. Sedangkan eyang putri sibuk mengabari sanak keluarga melalui telepon. Aku dan kakak hanya bisa berdoa dan menangis. Kami tidak bisa membantu apa-apa karena usia kami masih terlalu kecil. Saat itu, kami tidak bisa membayangkan kehidupan kami di masa depan tanpa eyang kakung. Karena sedari kecil, eyang kakung lah yang mendidik dan mengajari kami.
Dua jam kemudian, eyang kakung telah selesai dimakamkan. Sangat haru rasanya melihat banyak orang menangis di rumah. Malam harinya diadakan doa bersama untuk mendoakan almarhum eyang kakung. Hingga sampailah pada hari itu, hari yang takkan pernah kulupakan untuk selamanya. Di hari ke-empat setelah kepergian eyang kakung, kami mendapat pukulan yang sangat hebat dengan adanya berita bahwa mama dan budhe mengalami kecelakaan. Eyang putri pingsan seketika. Ketika salah satu anggota keluarga memastikan kebenarannya, beliau pulang sambil menangis dan mengatakan sesuatu yang sangat memukulku.
“Dia (menyebut nama mama) sudah tidak ada.” Tuturnya.
Seketika itu juga aku dan saudara-saudaraku menangis tanpa henti. Adikku yang waktu itu baru berusia satu setengah tahun saja ikut menangis. Padahal dia tidak tahu apa-apa. Aku tak tahu harus bagaimana. Tak dapat kubayangkan bagaimana perasaan eyang putri yang kehilangan suami dan anaknya dalam waktu empat hari saja. Pakde yang baru saja kembali ke Surabaya untuk bekerja esok hari, seketika itu juga pulang sambil menangis untuk menghadiri pemakaman adiknya yang tidak lain adalah mamaku setelah dikabari melalui telepon. Hatiku benar-benar telah remuk waktu itu.
Hari telah berganti, bulan pun terlewati, tahun demi tahun pun telah terlampaui. Tak terasa tiga tahun telah berlalu. Kehidupan penuh tangis pun telah usai. Dengan adanya kejadian tiga tahun lalu aku tumbuh menjadi anak yang tegar, walaupun sebenarnya aku sungguh rapuh. Aku iri melihat kebahagiaan teman-temanku bersama orang tua mereka. Namun aku sadar semuanya telah terjadi, dan kehidupanku masih berlanjut.
“Aku harus kuat.....Aku harus menjadi anak berprestasi untuk membanggakan almarhum eyang kakung dan almarhumah mama.” Gumamku dalam hati.
Sejak saat itu, aku menjadi lebih giat beribadah dan belajar. Sehingga aku bisa menjadi anak yang lebih baik dari sebelumnya. Hingga pada hari itu, ayahku memutuskan untuk menikah lagi dengan wanita pilihan eyang putri (Ibu mamaku). Sebenarnya aku merasa tidak terima, tapi aku sadar bahwa aku dan saudara-saudaraku masih kecil. Seandainya ayah sakit, kami tidak bisa merawatnya. Sehingga aku mencoba untuk ikhlas dan hanya bisa berdoa agar kami semua bahagia untuk selamanya.
Sekarang, sembilan tahun sudah aku hidup tanpa mama kandungku. Walaupun aku sudah punya mama baru, tapi entah mengapa aku masih tak sanggup untuk mengganti sosok mama dengan mama baruku. Sehingga sampai saat ini, aku masih memanggil mama baruku dengan sebutan “Mbak” karena sedari kecil aku memanggilnya begitu. Aku benar-benar bingung. Banyak gejolak hatiku yang seakan berkata-kata namun tak dapat terucap oleh bibir mungilku.
“Bangkitlah dari keterpurukan!!! Janganlah putus asa!!! Berjuanglah sekuat tenaga!!! Kamu pasti bisa!!! Buat orang terkasihmu bangga!!! Jangan siakan kesempatan yang ada!!! Bangkitlah!!! Singkirkan rasa sedih dalam hatimu!!! Bangkit!!! Bangkit!!! Ayo Bangkit!!!”
Aku bingung sekali. Entah mengapa aku merasa belum bisa menjadi anak yang tegar. Sesekali aku menangis dalam doa. Sesekali aku masih merasa rindu dengan eyang kakung dan mama.
“Aku ingin sekali bertemu walau hanya dalam mimpi untuk menghapuskan rasa rindu dalam hatiku.” Doaku dalam tangis.
Namun doaku itu tak pernah dikabulkan. Aku hanya bisa mengenang mereka dari foto-foto yang masih ada. Namun aku akan selalu mendoakan mereka setiap hari. Aku yakin, dengan doa dariku dan keluargaku yang lain setiap hari, eyang kakung dan mama telah hidup bahagia di alam yang abadi.
*TAMAT*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar