Kisah ini (dari "I cried for my brother six times - swaramers) memberiku banyak inspirasi dan motivasi. Aku ingin membaginya kepada teman-teman semua Mungkin bisa menginspirasi dan memotivasi teman-teman juga, khususnya yang mempunyai adik. Kebetulan umurku dan adikku juga terpaut tiga tahun, sama dengan yang ada di kisah ini, namun hanya saja isi kisahnya berbeda... hehe... Langsung saja deh... Selamat membaca^^
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Aku dilahirkan di sebuah desa pegunungan yang terpencil. Orang tuaku petani. Hari demi hari, orang tuaku membajak tanah kering kuning dengan punggung mereka menghadap langit. Aku mempunyai seorang adik laki-laki yang usianya 3 tahun lebih muda dariku. Dapat kurasakan bahwa ia mencintaiku lebih dari aku mencintainya.Suatu ketika aku menginginkan sarung tangan seperti gadis-gadis lain yang memilikinya juga. Untuk itu, aku mengambil uang ayahku di lacinya. Ayahku segera menyadari kehilangan. Beliau membuat kami, aku dan adikku, berlutut di depan tembok dengan bilah bambu di tangannya.
“Siapa yang mencuri uang itu?” hardik ayahku. Aku terpaku, terlalu takut untuk berbicara. Ayah tidak mendengar siapa pun mengaku, jadi dia berkata, “Baiklah jika begitu kalian berdua layak dipukul.”
Ayah mengangkat bilah bambu tinggi-tinggi dan siap memukulkannya kepada kami. Tiba-tiba adikku mencengkeram tangannya dan berkata, “Ayah, aku yang melakukannya.”
Bilah bambu itu menghantam punggung adikku bertubi-tubi. Ayah begitu marah sehingga dia mencambuki adikku sampai tersengal-sengal kehabisan napas. Sesudahnya, Ayah duduk di sebuah kursi batu dan berkata dengan marah, “Kamu sudah belajar mencuri dari rumah sekarang. Hal apa lagi yang akan kamu lakukan kelak? Kamu layak dipukul sampai mati. Kamu pencuri tidak tahu malu.”
Malam itu, ibu dan aku memeluk adikku dalam pelukan kami. Punggungnya penuh luka. Tapi dia tidak meneteskan air mata sedikit pun. Di tengah malam itu, aku menangis meraung-raung. Adikku menutup mulutku dengan tangan kecilnya dan berkata, “Kak, jangan menangis. Semuanya sudah terjadi.”
Aku masih selalu membenci diriku yang tidak memiliki keberanian untuk mengaku. Bertahun-tahun telah lewat, tetapi insiden itu masih terasa seperti kemarin. Aku tidak akan pernah lupa tampang adikku ketika ia melindungiku. Saat itu dia berusia 8 dan aku 11.
Ketika adikku menyelesaikan jenjang SMP, dia diterima di SMA di kota kabupaten. Pada saat yang sama, aku diterima masuk Universitas di kota Provinsi. Suatu malam, ayah berjongkok di halaman, menghisap rokok tembakaunya, bungkus demi bungkus. Aku mendengarnya berkata berat, “Kedua anak kita begitu baik prestasinya.” Saat yang sama Ibu terlihat menghapus air mata yang mengalir dan menghela napas. “Apa gunanya? Bagaimana mungkin kita bisa membiayai keduanya sekaligus?”
Saat itu juga adikku keluar menemui ayah dan berkata, “Ayah, aku tidak mau sekolah lagi. Aku telah cukup dengan membaca buku.”
Ayah mengayunkan tangannya ke wajah adikku, menamparnya. “Mengapa kamu mempunyai jiwa yang 'keparat' lemahnya? Bahkan jika aku harus mengemis di jalanan, aku akan menyekolahkan kalian berdua sampai selesai.” Dan kemudian ia mengetuk setiap rumah di desa itu untuk meminjam uang.
Ku ulurkan tanganku selembut mungkin ke wajah adikku yang membengkak, dan kubilang, “Anak laki-laki harus meneruskan sekolahnya. Kalau tidak, ia tidak akan pernah meninggalkan jurang kemiskinan seperti ini.” Aku, sebaliknya telah memutuskan untuk tidak meneruskan ke Universitas.
Siapa kira keesokan harinya, sebelum subuh datang, adikku meninggalkan rumah dengan beberapa helai pakaian lusuh dan sedikit kacang yang sudah mengering. Dia menyelinap ke samping ranjangku dan meninggalkan secarik kertas di bantalku: “Kak, masuk ke Universitas tidak mudah. Aku akan cari kerja dan mengirimimu uang.”
Aku memegang kertas tersebut di atas tempat tidurku dan menangis dengan air mata bercucuran sampai suaraku menghilang. Tahun itu, adikku berusia 16. Aku 19.
Dengan uang yang dipinjam ayahku dari seluruh orang desa dan uang hasil adikku dari mengangkut semen di punggungnya di sebuah perusahaan konstruksi, aku akhirnya sampai di tahun ke tiga. Suatu hari, aku sedang belajar di kamar kosku ketika seorang teman masuk dan memberi tahu, “Ada penduduk desa menunggumu di luar.”
Mengapa ada penduduk desa yang mencariku? Aku berjalan keluar. Kulihat adikku dari jauh. Seluruh badannya kotor tertutup debu semen dan pasir. “Mengapa kamu tidak bilang ke temanku kalau kamu adikku?” tanyaku.
Tersenyum, dia menjawab, “Lihat bagaimana penampilanku. Apa yang akan mereka pikir jika mereka tahu aku adalah adikmu? Apa mereka tidak akan menertawakanmu?”
Aku merasa begitu trenyuh dan air mata memenuhi mataku. Aku menyapu debu-debu dari tubuh adikku. “Aku tidak peduli omongan siapa pun! Kamu adikku bagaimanapun juga! Kamu adalah adikku bagaimanapun penampilanmu,” kataku tercekat-cekat.
Dari sakunya dia mengeluarkan sebuah jepit rambut berbentuk kupu-kupu. Ia memakaikan kepadaku, dan menjelaskan, “Kulihat semua gadis kota memakainya. Jadi, kupikir kamu pun harus memiliki satu.”
Aku tidak dapat menahan diri lagi. Aku menarik adikku dalam pelukanku dan menangis. Tahun itu, dia berusia 19. Aku 22.
Kali pertama aku membawa pacarku ke rumah, kaca jendela yang pecah telah diganti. Di mana-mana kelihatan bersih tidak seperti sebelumnya. Setelah pacarku pulang, aku menari bak gadis kecil di depan ibuku. “Bu, ibu tidak perlu menghabiskan banyak waktu untuk membersihkan rumah kita!” Tapi katanya, sambil tersenyum, “Itu adikmu, yang pulang awal untuk membersihkan rumah ini. Tidakkah kamu lihat luka ditangannya? Itu terluka akibat memasang kaca jendela baru itu.”
Aku masuk ke dalam ruangan kecil adikku. Melihat mukanya yang kurus, ribuan jarum terasa menusukku. Aku mengoleskan antiseptik ke lukanya dan membalutnya. “Apakah itu sakit?” tanyaku. Dia menggelengkan kepala.
“Tidak. Tidak sakit. Ini karena… Kamu tahu, ketika aku bekerja di lokasi konstruksi, batu-batu berjatuhan di kakiku. Bahkan itu tidak menghentikanku bekerja, dan..” Di tengah kalimat itu ia berhenti. Aku membalikkan tubuhku memunggunginya, dan air mata deras mengalir ke wajahku. Saat itu dia 23. Aku 26.
Setelah menikah, aku tinggal di kota. Berkali-kali suamiku dan aku mengundang orang tuaku untuk datang dan tinggal bersama kami, tetapi mereka tidak pernah mau. Mereka bilang, sekali meninggalkan desa, mereka tidak akan tahu harus mengerjakan apa. Adikku juga tidak setuju, “Kak, jagalah mertuamu saja. Aku akan menjaga ayah dan ibu di sini.”
Suamiku menjadi direktur di pabriknya. Kami menginginkan adikku menjadi manajer pada departemen pemeliharaan. Tetapi adikku menolak tawaran tersebut. Ia berkeras memulai pekerjaan sebagai tukang reparasi.
Suatu hari, ketika adikku berada di atas tangga untuk memperbaiki sebuah kabel, dia terkena kejutan listrik dan harus masuk rumah sakit. Aku dan suamiku pergi menjenguknya. Melihat gips putih pada kakinya, aku menggerutu, “Mengapa kamu menolak menjadi manajer? Manajer tidak harus melakukan hal berbahaya yang berakibat seperti ini. Lihat kamu sekarang. Lukamu serius. Mengapa kamu tidak mau mendengar kami sebelumnya?”
Dengan tampang serius di wajahnya, dia membela keputusannya, “Pikirkan kakak ipar. Dia baru saja menjadi direktur. Dan aku tidak berpendidikan. Jika aku menjadi manajer, cerita macam apa yang bakal berhembus?”
Mata suamiku dipenuhi air mata, dan keluar kata-kataku terpatah-patah, “Tapi kamu kurang pendidikan karena aku.”
“Mengapa membicarakan masa lalu?” kata adikku sembari menggenggam tanganku. Tahun itu, dia berusia 26. Aku 29.
Adikku berusia 30 tahun ketika dia menikahi seorang gadis petani dari desa itu. Pada acara pernikahannya, pembawa acara bertanya kepadanya, “Siapa yang paling kamu hormati dan kasihi?” Bahkan tanpa berpikir dia menjawab, “Kakakku!”
Dia melanjutkan dengan sebuah cerita yang bahkan tak dapat kuingat. “Ketika saya pergi sekolah saat SD yang ada di desa lain, saya dan kakak harus berjalan 2 jam untuk pergi ke sekolah. Suatu hari saya kehilangan satu sarung tangan. Kakak saya memberikan satu kepunyaannya. Ia hanya memakai satu saja dan berjalan selama itu. Ketika kami tiba di rumah, tangannya begitu gemetar karena cuaca yang begitu dingin, sampai-sampai dia tidak bisa memegang sumpitnya. Sejak hari itu saya bersumpah, selama saya masih hidup saya akan menjaga kakak dan akan selalu baik padanya.”
Tepuk tangan membanjiri ruangan itu dan semua orang memalingkan perhatian padaku. Bibirku terasa kelu. Kata-kata begitu susah kuucapkan, “Dalam hidupku, orang yang paling dalam terima kasihku adalah adikku.”
Dan dalam kesempatan paling berbahagia ini, di depan kerumunan perayaan ini, air mata bercucuran turun dari wajahku seperti aliran sungai.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar