Sabtu, 05 Februari 2011

Menuju Pers yang Ideal di Indonesia

Bicara mengenai Pers Ideal, berarti di awal mencoba memahami dulu pers dan idealisme pers.
Era dulu pra kemerdekaan, rejim Orde Lama, dan Rejim Orde Baru, pers diasumsikan merupakan alat perjuangan yang selalu dikait-kaitkan dengan pergerakan dan revolusi.
Pada definisi Pers yang dimaktubkan dalam UU Pokok Pers; Pers adalah lembaga kemasyarakatan alat evolusi yang mempunyai karya sebagai salah satu media komunikasi massa yang bersifat umum berupa penerbitan yang teratur waktu terbitnya diperlengkapi dengan alat-alat milik sendiri berupa percetakan, alat-alat foto, klise, mesin-mesin stensil atau alat-alat teknik lainnya. (Bab I, Pasal 1 ayat (1) UU 11/1966).
Akan halnya definisi Pers yang dimaktubkan dalam UU Pers; Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia. (Bab I, Pasal 1 ayat (1) UU 40/1999).
Yang paling mencolok ada di pasal berikutnya terkait fungsi pers. UU 40/1999 menyampirkan unsur ‘Lembaga Ekonomi’ sebagai fungsi pers. Di sinilah perbedaan signifikan yang menjadikan pers Indonesia memasuki babak baru yang mencengangkan. Pers adalah Lembaga Ekonomi artinya pers bisa dijadikan sebagai ‘mesin uang’.
Dulu, bos-bos media adalah orang yang berkuasa. Berkuasa karena memiliki akses dan wewenang terhadap lembaga pers. Sekarang, bos-bos media menjadi jauh lebih berkuasa lagi. Selain ihwal kontrol pribadinya terhadap lembaga pers, bos media bisa dipastikan sebagai orang kaya. Atau, orang kaya bisa menjadi bertambah berkuasa dengan membeli atau membuat lembaga pers.
Jadi, Idealisme Pers mutlak diperlukan untuk memastikan pers ‘lurus’ dalam menunaikan tugasnya. Idealisme Pers selalu berasosiasi dan beriring dengan kepentingan masyarakat. Dalam konteks demokrasi, pers bahkan diletakkan sebagai Pilar Keempat yang disetarakan dengan eksekutif, yudikatif, dan legislatif. Fungsinya? Pers disebut sebagai anjing penjaga demokrasi. Jadi, pers hanya tunduk dan berpihak kepada masyarakat semata.
Tapi, seiring pengakuan Undang-Undang terhadap kelembagaekonomian fungsi pers, ternyata fungsi ini yang paling cepat mengemuka. Pers adalah sebuah bisnis yang menggiurkan. Bagaimana tidak, kekuasaan diperoleh, ‘duit’ pun mengalir deras.
Apalagi, instrumen-instrumen ‘garansi’ eksistensi pers seperti Surat Izin Terbit (SIT) dan Surat Izin Penerbitan Pers (SIUPP) dihapuskan sedemikian rupa sehingga satu-satunya penghadang keberlanjutan eksistensi pers adalah ‘duit’. Ada ‘duit’ pers hidup, tak ada ‘duit’ pers mati.
Duit berurusan dengan bisnis dan sumbu kekuasaan. Jika mampu mengemas lembaga pers sebagai komoditi bisnis yang laku keras, maka persnya akan hidup makmur. Atau pilihannya adalah merapat ke sumbu kekuasaan, persnya seperti mendapat jaminan hidup.
Idealisme Pers jadi buram, pemaknaannya jadi bias dan multi-interpretatif. Pers Indonesia disebut sudah ‘bablas’ tak terkontrol dari harapan saat kebebasan pers dicanangkan pasca-reformasi. Siapa saja yang gerah dengan kondisi ini? Nampaknya semua pihak mengaku-ngaku gerah. Pejabat, pengusaha, masyarakat dan persnya sendiri mengaku gerah.
Menurut saya wartawan adalah sebuah profesi. Artinya wartawan harus menempa dirinya sebaik-baiknya untuk dapat memperoleh status ‘Profesional’.
Profesional artinya secara ‘skill’ harus memperoleh predikat ‘mumpuni’ dan secara etika harus memperoleh predikat baik dalam komunitas profesinya. ‘Skill’ dan etika tersebut yang menjadi ‘garis batas’ untuk menjamin bahwa dalam menjalani profesi ini dia adalah seorang wartawan yang ber-skill ‘mumpuni’ dan wartawan yang baik. Wartawan Profesional.
Tapi faktanya, instrumen yang dibutuhkan untuk melembagakan aktivitas kewartawanan menjadi sebuah Profesi Wartawan memang belum cukup. Sampai saat ini, belum ada standar kompetensi kewartawanan di Indonesia. Juga halnya Standar Kompetensi Perusahaan Pers di Indonesia. Kondisi ini menurut penulis adalah kata kunci sebagai ‘pembablas’ kebebasan pers Indonesia.
Sudah di satu pihak tak ada lagi lembaga dan instrumen kontrol yang diberi hak oleh UU untuk menjamin lembaga pers dan wartawannya menjalankan aktivitasnya dengan profesional, kilau kekuasaan dan uang dalam bisnis pers semakin membuat pers berada di bibir jurang yang berbeda dengan kepentingan masyarakat sebagai satu-satunya pihak yang seharusnya dipatuhi pers.
Simpulan saya, harus ada instrumen normatif dan positif soal standar kompetensi wartawan dan perusahaan pers di Indonesia, maka bablas kebebasan pers ini baru bisa ditekan. Dengan penjagaan legal-formal terhadap penunaian idealisme pers oleh insan pers maka kebebasan pers baru dapat diterima masyarakat dengan baik.

Oleh: FIRDA HARTANTI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar